Adven Sarbani: Sampaikan Hal Baik dengan Cara yang Baik

Adven Sarbani, Korwil Wilayah Mafindo Surabaya

Menyampaikan klarifikasi hoaks tidaklah mudah, tak pernah mudah. Apalagi ketika penyebar hoaks adalah anggota keluarga yang kita hormati atau orang-orang yang kita segani. Bila tidak dilakukan dengan hati-hati, alih-alih sadar dan mengakui kesalahan, bisa jadi mereka malah tersinggung bahkan resisten.

Memberikan sosialisasi dan edukasi kecakapan digital juga sama tak mudahnya. Diperlukan kurikulum yang tepat guna dan langkah-langkah strategis ketika menyampaikannya.

Maka di situlah peranan Komisi Litbang Mafindo, para akademisi dan peneliti yang melakukan riset-riset terkait hoaks. Hasil riset mereka kemudian dijadikan data valid sebagai dasar untuk menentukan kebijakan-kebijakan, program, termasuk kurikulum.

Salah satu periset itu adalah Yohanes Adven Sarbani, dosen Prodi Administrasi Perkantoran di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) sekaligus Koordinator Wilayah Mafindo Surabaya.

Tetapi, mengapa hoaks perlu diteliti segala? Mengapa untuk membuat kurikulum diperlukan data?


Mengapa Penelitian Terkait Hoaks Menjadi Penting?

Fakta dan data merupakan napas utama Mafindo. Dalam proses mengklarifikasi berita palsu misalnya, para fast-checker atau pemeriksa fakta Mafindo akan mencari dan menggali berbagai referensi valid sebelum melansir klarifikasi ke publik.

Tetapi, sekali lagi, mengapa hoaks perlu diteliti?

“Karena kita sedang menghadapi era keberlimpahan informasi, tetapi yang terjadi adalah ada banyak gap informasi yang terjadi di masyarakat. Dan celah atau gap informasi itulah jalan masuk hoaks. Dan kami ingin mengetahui bagaimana cara mengisi gap informasi itu, bagaimana kita bisa menyampaikan informasi dengan benar, serta bagaimana kita bisa mengklarifikasi info yang salah atau hoaks.” jawab Adven.

Penelitian-penelitian yang dilakukan Mafindo juga bertujuan untuk mengetahui motivasi atau terkait psikologi seseorang ketika menyebarkan informasi yang tidak benar. Bisa jadi mereka, para penyebar hoaks, melakukan itu karena tidak tahu. Atau bisa jadi mereka tahu tapi sengaja menyebarkannya.

“Itu adalah dua motivasi yang sangat berbeda, tetapi keduanya memiliki dampak yang luar biasa kepada orang yang menerima informasi salah tersebut,” Adven menambahkan.

Hasil dari penelitian tersebut kemudian digunakan untuk merumuskan strategi dalam mengatasi adanya gap informasi dan menambah pengetahuan masyarakat sehingga hoaks dapat ditangani bersama-sama.


Maka Sampaikan dengan Cara yang Baik

Selain meneliti dan menjadi korwil, Adven juga mulai berkontribusi dalam penyusunan kurikulum program Tular Nalar 3.0. Hasil risetnya tentang kesantunan berbahasa saat mengkomunikasikan klarifikasi hoaks menjadi salah satu masukan bagi tim dalam penyusunan kurikulum.

Tular Nalar merupakan salah satu program Mafindo yang dimulai pada tahun 2020 dan masih berlanjut hingga sekarang. Berfokus pada kurikulum literasi media untuk pengembangan berpikir kritis. Program ini menyasar berbagai kalangan di antaranya mahasiswa, pelajar, dosen, guru, masyarakat di kawasan 3 T (Tertinggal, Terdepan dan Terluar), dan yang terbaru menyasar para lansia agar mereka lebih cakap digital.

“Tular Nalar, kan, berkembang ya, tidak hanya terkait dengan literasi media dan digital. Tetapi kami tertantang juga untuk masuk ke ranah masyarakat yang masih belum terjamah literasi digital yaitu para lansia dan pemilih pemula,” jelas Adven.

Sama seperti ketika menyampaikan klarifikasi hoaks, begitu pula ketika menyampaikan edukasi kepada masyarakat. Karena rentang usia audiens yang luas dan latar belakang yang beragam, diperlukan penyesuaian-penyesuaian. Dengan kata lain, sesuatu yang baik perlu disampaikan dengan cara yang baik pula.

Di Tular Nalar 3.0 ini, para tim penyusun berusaha membuat kurikulum yang lebih fleksibel dan lebih punya daya, terutama terkait bahasa. Kurikulum, terutama pemilihan diksinya, dibuat lebih sederhana sehingga dapat mudah dipahami oleh para audiens. Penelitian Adven sendiri menjadi salah satu masukan bagi tim.

“Contoh sederhana, kami tidak menggunakan istilah ‘prebunking’ saat memberikan literasi digital pada lansia. Kami menggunakan istilah ‘penginderaan hoaks’,” ungkap Adven.

Fleksibilitas kurikulum juga memberikan keleluasaan bagi para fasilitator untuk menyesuaikan cara menyampaikan edukasi kepada audiens di masing-masing daerah.

Adven kembali mengungkapkan, “Jadi kurikulum kami memang dirancang cukup fleksibel. Kemarin ada cerita menarik saat Tular Nalar di Papua. Di sana, fasilitatornya menyampaikan materi dengan bahasa daerah dan itu dapat ditangkap baik oleh para peserta. Dan ini menjadi salah hal yang bagi kami di tim merasa ‘Wow, benar juga, kita harus melokalkan bahasa’.”


Mafindo Adalah Keluarga

Berawal dari kejenuhan dan keprihatinannya menghadapi hoaks dan situasi politik yang begitu panas, Adven tergerak untuk bergabung dengan Mafindo pada tahun 2017 silam. Sejak saat itu pulalah ia dipercaya sebagai Korwil Wilayah Mafindo Surabaya.

Adven juga bercerita bahwa baginya Mafindo sudah seperti keluarga karena disatukan oleh kesamaan idealisme, “Saya sendiri tidak bisa membayangkan kalau Mafindo bisa sebesar sekarang. Dan progres dengan teman-teman, baik teman-teman di wilayah, di pusat, presidium, dan teman-teman di wilayah lain. Banyak teman-teman yang belum pernah bertemu, tapi rasanya kami itu seperti keluarga.”


Untuk ke depannya, Adven berharap agar Mafindo sebagai organisasi tetap pada idealisme dan semangat awal. Sebab menurutnya, semakin besar sebuah organisasi, maka semakin besar pula tanggung jawab dan harapan dari banyak pihak. (eL)

Adven Sarbani

Kisah Lainnya

Hadi Purnama Korwil Mafindo Bandung

Hadi Purnama, Menggerakkan Relawan dan Mewariskan Tradisi Baik

Aribowo Sasmito

Aribowo Sasmito, Memeriksa Fakta Tak Selalu Sederhana

Roesda Leikawa, si Pemadam Api Hoaks dari Maluku

Tinggalkan komentar